Ada Cinta di dalam Kampus Islami


Source : http://www.familylife.com

“Tak ada orang yang tidak senang ketika cinta disebutkan.”

DEMIKIAN kata Sattu Alang, Guru besar UIN Alauddin Makassar dalam sebuah diskusi Juni 2015 silam. Saya masih merekam kata-katanya lewat tulisan. Ya, begitulah barangkali kekuatan tulisan. Mampu merekam peristiwa penting seberapa lama pun kejadian itu pernah hadir memberikan kisahnya. Prof. Sattu Alang juga bilang “Cinta adalah salah satu masalah dalam menempuh pendidikan.”

Inilah bukti sebagai pejuang bangsa di bidang intelektual dulu hingga kini. Mereka yang menempuh pendidikan di tingkat perguruan tinggi tentunya pernah mengalami stagnasi pikiran walau hanya sekejap. Namun wabah ini turut melingkupi kaum muda bergelar “Maha” itu sehingga masuk ke dalam lingkaran apa yang bisa disebut “korban pendidikan tinggi.”

Pertanyaan yang timbul kemudian ialah mengapa cinta dapat memberikan derita bagi para pencari ilmu? Apakah ada solusi agar para pencari ilmu ini mampu berjalan pada atmosfir ilmu pengetahuan dengan selamat?

Masalah cinta pada lawan jenis masih dipandang sebagai hal yang tabu untuk dikonsumsi secara meluas. Realita ini terjadi di lingkungan kampus “berlabel” Islam. Kegiatan kemahasiswaan di seputar kampus seperti diskusi bersama lawan jenis kadang harus disembunyikan. Padahal Nistain Odop dalam bukunya berjudul 55 Wasiat Cinta dan Kehidupan (2009: 248) mengatakan, mustahil manusia hidup tanpa cinta kasih.

Persoalan cinta dan mencintai dalam perguruan tinggi masih menjadi hal yang tabu untuk ditanggapi oleh sivitas akademika kampus Islam. Padahal cinta dalam pendidikan juga sangat diperlukan. Ia bagaikan kebutuhan yang mesti dipenuhi selama cinta itu dilabuhkan dalam hal positif. 

Menelisik teori dari pakar psikologi kebangsaan Amerika Abraham C. Maslow. Dalam pandangannya melahirkan apa yang disebut Teori Hierarki Kebutuhan Maslow. Ia menyatakan bahwa cinta menyangkut suatu hubungan sehat dan penuh kasih mesra antara dua orang, termasuk sikap saling percaya. 

Maslow juga mengatakan bahwa kebutuhan akan cinta meliputi cinta yang memberi dan cinta yang menerima. Kita harus memahami cinta, harus mampu mengajarkannya, menciptakannya dan meramalkannya. Jika tidak, dunia akan hanyut ke dalam gelombang permusuhan dan kebencian (Goble, 1987: 71).

Dari teori tersebut kita dapat menarik benang merah yang muaranya mengarah pada asumsi bahwa cinta senantiasa dibutuhkan oleh semua orang -tanpa terkecuali-, sebab cinta di sini termasuk ke dalam hal mem
bina hubungan antar manusia sebagai hal biologis dalam menciptakan harmonisasi kehidupan.

Kembali ke persoalan pendidikan di kampus. Proses pencarian ilmu di perguruan tinggi tidak semerta-merta berjalan mulus dan lancar. Bahkan di dalamnya sering pula mengalami kemandekan. Yang menjadi penyebabnya ada bermacam-macam. Baik dari hal finansial, psikis bahkan barangkali penyebabnya  karena rendahnya daya nalar seseorang yang sedang menempuh pendidikan. Yang jika dipaksa maka otak akan mengalami tekanan alias stres.

Mengerucut kepada judul. Di atas sudah dikatakan bahwa masalah cinta atau saling menyukai dengan lawan jenis dalam pendidikan di kampus berlabel Islam adalah karena cinta itu seakan dikungkung -di penjara- dalam sel-sel perasaan. Terus-menerus dipenjarakan. Sehingga akan bahaya jika ia lepas dari selnya yang dengan kekuatannya membabi-buta tanpa difilter oleh norma maka tindakan pelanggaran pun tak dapat terelakkan. Inilah salah satu sumber dari tindakan melanggar norma asusila.

Masalah yang ada sekarang ialah cinta seringkali dikurung, padahal cinta ini bersifat luwes atau dinamis. Tak dapat dipenjarakan. Ia memiliki kekuatan untuk memberi kasih dan menerima kasih yang mestinya harus ditolerir dalam wadah persepsi yang manusiawi. Sehingga wajar jika kita mengenal istilah “kumpul kebo” di dunia kampus. Sebab cinta dan mencintai tak dipandang sebagai kelaziman serta tak adanya keterbukaan dalam menjawab setiap permasalahan yang timbul akibat hadirnya perasaan ‘sama-sama suka’.

Kita mesti sepakat pada pernyataan bahwa semua manusia butuh cinta dan untuk merealisasikannya dibutuhkan alur positif. Bolehlah kita memiliki perspektif tentang kata positif. Karena kita memiliki hati dan pikiran yang mampu mengejewantahkan realisasi dari kata positif tersebut. Dalam buku Rhonda Barney berjudul The Secret (2006), ia mengatakan seluruh kekuatan ada pada pikiran. Dan pikiran positif akan mengubah sesuatu negatif sesuai apa yang dipikirkan. Sehingga kita mesti tetap berpikiran positif untuk problem kisah cinta antar mahasiswa yang sedang berkuliah di kampus yang (semoga) Islami. Tentu pelajaran yang didapat dari sini berbeda dengan kampus lainnya.

Sebagai kesimpulan, semestinya dalam menempuh pendidikan di perguruan tinggi berlabel Islam, hendaknya cinta tak boleh dipandang sebagai hal yang tabu untuk dibicarakan. Sebab inilah yang kadang membuat orang menjadi kaku. Di sinilah kebebasan berpikir dan kebebasan berekspresi itu diuji. Menuangkan gagasan dan imajinasi dalam bingkai cinta yang positif memang perlu. Memberi kebaikan hati dan menerimanya dengan rasa yang tulus pada sesama manusia itu saya kira penting untuk diaplikasikan dalam bingkai harmonisasi.

Karena cinta tak pernah mengenal istilah musuh dan perselisihan. Cinta itu menyatu. Menyatukan persamaan dan perbedaan dalam perasaan yang aman, tenteram dan mencipta kemaslahatan. Demikian saja!


Makassar, 2015-2017

Komentar (0)