Opini Muh. Galang Pratama Menjadikan Membaca Serupa Melahap Makanan Saat Lapar





PADA dasarnya banyak hal yang mesti kita perbaiki. Sutarto (2015) menyatakan bahwa Indonesia masuk dalam data negara yang menempati posisi paling bawah dalam hal minat baca di Asia. Ini baru di Asia, apalagi di dunia? Tahukah kawan-kawan mengapa itu bisa terjadi? Sebab salah satu budaya yang terus mengakar pada diri generasi muda bangsa ini adalah malas membaca. 


Sulit sekali membiasakan sikap gemar membaca. Padahal sebenarnya teman-teman sudah tahu apa pentingnya membaca. Iya kan? Membaca hanya perlu dibiasakan, seperti kata para motivator. Bahkan menurut penulis, membaca kalau perlu dipaksakan datang dari dalam diri sendiri (bagi pemula). Jika teman-teman sudah merasakan nikmatnya membaca, maka budaya membaca tak akan lepas pada diri teman-teman. Membaca seolah-olah menjadi kebutuhan pokok yang tak bisa dilepas seperti halnya makan. Tentu teman-teman akan selalu mencari makan ketika sedang lapar, bukan begitu? 

2 Mei 2016 bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Tahukah teman-teman pelajaran apa yang kita bisa petik dari peringatan hardiknas kali ini? Bukan hanya mengadakan seremonial semata. Kita mestinya merenung. Sudah sampai di mana sumbangsih kita pada negara dalam hal pendidikan. Apakah kita sudah memenuhi pesan-pesan dari para pejuang kita yang rela mati demi membela keutuhan bangsa? Apa yang mereka inginkan dari kita? Mereka tidak lagi menginginkan agar kita mengangkat senjata dan meneriakkan kalimat tauhid atau kalimat “Merdeka atau mati!” lalu pergi berperang. Bukan itu kawan! Yang mereka inginkan hanyalah bagaimana agar kita memiliki ambisi untuk belajar dan ambisi dalam mewujudkan impian. 

Ambisi dalam arti motivasi yang tinggi untuk mencapai kemajuan pribadi (Sarwono, 2007: 14). Kita mestinya melawan pembodohan. Pembodohan yang diakibatkan oleh banyak hal, seperti banyak tidur, nonton di depan laptop berlama-lama, tak bisa menggunakan gadget/handphone dengan bijak dan tentunya masalah yang lebih krusial, malas membaca. Kendalikanlah waktu, serupa mengendalikan nafsu saat berpuasa. Sebab teman tahu, apa yang membuat kita berbeda dari Rio Haryanto anak Indonesia pertama yang sukses dengan bakatnya mengemudikan Formula 1 dan membawa bendera merah putih ke seluruh dunia? Di samping itu, ternyata
dia juga sangat religius. Membangun pesantren dan rumah bagi anak yatim-piatu (baca: Percik Nur Alim Jalil, Harian Fajar Makassar h. 23, edisi 1/5/2016). 

Satu hal mutlak adalah mengembangkan bakat yang teman-teman miliki. Tidaklah heran jika mereka yang saat ini sukses di bidangnya, tak pernah terlepas dari usahanya mengembangkan bakat yang dimilikinya. Bakat bisa saja bermula dari hobi namun yang lebih jelas bahwa bakat itu selain pekerjaan yang dapat membuat hati tenang dan bahagia, juga berisi akumulasi dari latihan-latihan yang dilakukan secara kontinyu/berkelanjutan. Sangat tidak mungkin jika M. Aan Mansyur, Sastrawan asal Makassar dapat menulis banyak buku jika ia tak rutin membaca dan menulis. Bukunya Tidak Ada New York Hari Ini (2016) langsung dicetak ulang pada hari pertama rilis buku (baca: Idealisme Puisi... Harian Tribun Timur Makassar, h. 7, edisi 1/5/2016). 

Sekarang, fokus pada bakat yang teman-teman miliki lalu kembangkan. Beri waktu khusus dalam sehari untuk melatihnya hingga jadi suatu kebiasaan. Bahkan upaya memaksa di awal untuk membuat suatu kebiasaan baik, tidaklah buruk. Sama halnya dengan bakat. Keseringan membaca akan melahirkan penyakit yang berakibat pada jiwa yang selalu merasa lapar melahap sebuah bacaan. Apa pun kepentingan atau impian yang ingin teman-teman capai, membaca adalah pekerjaan yang mutlak harus dilakukan. Membaca itu wajib. Iqra’! Membaca pada dasarnya akan membawa teman-teman memahami apa maksud tulisan ini. Jika belum mengerti, maka perbanyaklah membaca. Membaca (buku) apa saja. Sekian.

Komentar (0)