
Lihat Detail
GIMM, Rahim Generasi Literasi
![]() |
Harian Fajar, 13 Oktober 2016 |
Jika Anda tidak dapat terbang, maka larilah. Jika Anda tidak dapat berlari, maka berjalanlah. Jika Anda tidak dapat berjalan, maka merangkaklah. Tetapi apapun yang Anda lakukan, Anda harus tetap bergerak ke depan.
(Martin Luther King Jr.)
GERAKAN Indonesia Membaca-Menulis atau yang disingkat GIMM telah mengaplikasikan kalimat di atas. Walaupun banyak kendala menghadang, namun gerakan ini tak pernah mati suri. Gerakan yang dipelopori pemerintah melalui kementerian pendidikan dan kebudayaan mengingatkan kepada kita akan pentingnya perubahan yang diawali dari sebuah gerakan. Gerakan yang selalu membawa perubahan untuk tetap bergerak ke depan.
Badan Balai Bahasa Provinsi di seluruh Indonesia, rupaya sudah melancarkan aksinya dalam rangka memahamkan kepada masyarakat akan pentingnya budaya literasi. Budaya literasi atau budaya tulis-menulis, sejatinya memang harus selalu disebarkan ke masyarakat. Mengingat dasar utama ilmu pengetahuan adalah membaca.
Selain itu, Balai Bahasa sudah tentu mengaplikasikan beberapa tuntutan aturan di antaranya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2014 tentang pengembangan, pembinaan, dan pelindungan bahasa dan sastra serta peningkatan fungsi bahasa Indonesia.
Predikat sebagai Negara buta aksara terbesar memang masih tersemat oleh negara ini. Bayangkan saja, data statistik UNESCO yang dilansir tahun 2012 menyebutkan, indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001 persen. Artinya, setiap 1.000 penduduk, hanya satu orang yang memiliki minat baca. Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan bagi semua kalangan.
Jika kita ingin menarik simpulan dari kegiatan membaca dan menulis, maka kegiatan yang lebih dulu harus dilakukan adalah membaca. Membaca adalah asal dari pengetahuan itu bermula. Namun, jangan lupa di sela-sela membaca, kita seharusnya menuntut diri dengan tekad kuat untuk menuliskan apa yang telah dibaca. Itulah asal mula dari menulis, menuliskan apa yang sudah dibaca. Menurut Stephen King, membaca adalah pusat yang tidak bisa dihindari oleh penulis.
Anda pasti mengenal Taufik Ismail. Beliau seorang dokter hewan, namun kepiawaiannya dalam menulis tak bisa dipandang sebelah mata. Di angkatan kepenyairannya di negeri ini, melalui karya karyanya terutama puisi, telah membawa namanya sekaligus mengharumkan bangsa ini hingga ke mancanegara.
Ia pernah bilang begini. Semestinya hanya ada dua yang mesti diajarkan oleh guru Bahasa Indonesia di sekolah. Yakni menulis, menulis menulis, dan membaca, membaca, membaca.
Dialah yang melalui penanya menciptakan ungkapan “tragedi nol buku” yang disematkan untuk bangsa ini. Ia membandingkan persoalan membaca buku di negara-negara lain. Hasilnya ia mendapatkan rata-rata lulusan SMA di Jerman membaca 32 judul buku, di Belanda 30 buku, Rusia 12 buku, Jepang 15 buku, Singapura 6 buku, Malaysia 6 buku, Brunei 7 Buku, sedangkan Indonesia nol buku.
Kata ‘nol buku’ rasa rasanya sangat memukul generasi muda bangsa ini. Begitu rendahnyakah kualitas baca di negeri ini? Kualitas menulis apalagi? Membaca dan menulis tentu dua hal yang saling berhubungan. Tak bisa dipisahkan begitu saja. Setiap penulis senantiasa haus akan bacaan. Tulisan yang baik akan didahului dengan bacaan yang baik pula.
Kita pasti sudah tahu apa maksud dari pernyataan tersebut. Sebab boleh dibilang, guru Bahasa Indonesia kita sejak SD, SMP, SMA dan mungkin hingga di Perguruan Tinggi, hanya mengajarkan teori-teori kebahasaan semata. Padahal yang utama dari itu semua adalah pengaplikasiannya.
Telah lama kita mengenal dan mempelajari teori menulis, namun apa hasilnya? Anak didik tak diajar menulis sebebas bebasnya. Pelajar hanya dibatasi dengan teori. Padahal, dalam menulis penting adanya imajinasi. Bukankah imajinasi seseorang itu berbeda-beda dan tak bisa dibatasi?
Perhatian pemerintah melalui Badan Balai Bahasa sepertinya patut diapresiasi. Untuk Balai Bahasa Sulawesi Selatan, Gerakan Indonesia Membaca-Menulis (GIMM) se-Kota Makassar ini dilaksanakan pada hari Senin-Rabu (10-12 Oktober 2016) di Hotel Aerotel Smile Makassar.
Diikuti sebanyak 250 peserta yang berbagai kalangan mulai dari siswa, mahasiswa hingga guru. Dalam kegiatan ini, terselip juga berbagai kegiatan lomba untuk memacu semangat menulis para peserta. Di antaranya lomba Karya Tulis Ilmiah (KTI) di tingkat Guru, lomba menulis Esai tingkat Mahasiswa dan lomba Penulisan Cerita Rakyat di tingkat siswa.
Di hari terakhir, akan dipilih 10 peserta terbaik dari masing-masing bidang untuk mempresentasikan hasil karya tulisnya. Setelah itu akan ditentukan enam peserta untuk mendapat juara I sampai juara III dan harapan I sampai harapan III, masing-masing dari bidang akan diambil dua orang untuk mewakili ke tingkat nasional.
Semoga GIMM benar-benar bisa menjadi rahim bagi generasi literasi di Indonesia. Sehingga output dari kegiatan ini minimal mampu melahirkan penulis-penulis berbakat dan juga pembaca-pembaca yang dapat menularkan virus membacanya kepada masyarakat di sekitarnya. Bukankah pepatah Cina mengatakan, “perjalanan seribu mil dimulai dari langkah pertama?” Terima kasih telah mengundang penulis menjadi satu bagian dari proses literasi ini. Semoga!
*Tulisan ini diterbitkan pertama kali di Rubrik Opini Harian Fajar Makassar, 13 Oktober 2016
Via Fajar online sila klik ini.
Badan Balai Bahasa Provinsi di seluruh Indonesia, rupaya sudah melancarkan aksinya dalam rangka memahamkan kepada masyarakat akan pentingnya budaya literasi. Budaya literasi atau budaya tulis-menulis, sejatinya memang harus selalu disebarkan ke masyarakat. Mengingat dasar utama ilmu pengetahuan adalah membaca.
Selain itu, Balai Bahasa sudah tentu mengaplikasikan beberapa tuntutan aturan di antaranya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2014 tentang pengembangan, pembinaan, dan pelindungan bahasa dan sastra serta peningkatan fungsi bahasa Indonesia.
Predikat ‘Nol Buku’
Predikat sebagai Negara buta aksara terbesar memang masih tersemat oleh negara ini. Bayangkan saja, data statistik UNESCO yang dilansir tahun 2012 menyebutkan, indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001 persen. Artinya, setiap 1.000 penduduk, hanya satu orang yang memiliki minat baca. Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan bagi semua kalangan.
Jika kita ingin menarik simpulan dari kegiatan membaca dan menulis, maka kegiatan yang lebih dulu harus dilakukan adalah membaca. Membaca adalah asal dari pengetahuan itu bermula. Namun, jangan lupa di sela-sela membaca, kita seharusnya menuntut diri dengan tekad kuat untuk menuliskan apa yang telah dibaca. Itulah asal mula dari menulis, menuliskan apa yang sudah dibaca. Menurut Stephen King, membaca adalah pusat yang tidak bisa dihindari oleh penulis.
Anda pasti mengenal Taufik Ismail. Beliau seorang dokter hewan, namun kepiawaiannya dalam menulis tak bisa dipandang sebelah mata. Di angkatan kepenyairannya di negeri ini, melalui karya karyanya terutama puisi, telah membawa namanya sekaligus mengharumkan bangsa ini hingga ke mancanegara.
Ia pernah bilang begini. Semestinya hanya ada dua yang mesti diajarkan oleh guru Bahasa Indonesia di sekolah. Yakni menulis, menulis menulis, dan membaca, membaca, membaca.
Dialah yang melalui penanya menciptakan ungkapan “tragedi nol buku” yang disematkan untuk bangsa ini. Ia membandingkan persoalan membaca buku di negara-negara lain. Hasilnya ia mendapatkan rata-rata lulusan SMA di Jerman membaca 32 judul buku, di Belanda 30 buku, Rusia 12 buku, Jepang 15 buku, Singapura 6 buku, Malaysia 6 buku, Brunei 7 Buku, sedangkan Indonesia nol buku.
Kata ‘nol buku’ rasa rasanya sangat memukul generasi muda bangsa ini. Begitu rendahnyakah kualitas baca di negeri ini? Kualitas menulis apalagi? Membaca dan menulis tentu dua hal yang saling berhubungan. Tak bisa dipisahkan begitu saja. Setiap penulis senantiasa haus akan bacaan. Tulisan yang baik akan didahului dengan bacaan yang baik pula.
Kita pasti sudah tahu apa maksud dari pernyataan tersebut. Sebab boleh dibilang, guru Bahasa Indonesia kita sejak SD, SMP, SMA dan mungkin hingga di Perguruan Tinggi, hanya mengajarkan teori-teori kebahasaan semata. Padahal yang utama dari itu semua adalah pengaplikasiannya.
Telah lama kita mengenal dan mempelajari teori menulis, namun apa hasilnya? Anak didik tak diajar menulis sebebas bebasnya. Pelajar hanya dibatasi dengan teori. Padahal, dalam menulis penting adanya imajinasi. Bukankah imajinasi seseorang itu berbeda-beda dan tak bisa dibatasi?
GIMM
Perhatian pemerintah melalui Badan Balai Bahasa sepertinya patut diapresiasi. Untuk Balai Bahasa Sulawesi Selatan, Gerakan Indonesia Membaca-Menulis (GIMM) se-Kota Makassar ini dilaksanakan pada hari Senin-Rabu (10-12 Oktober 2016) di Hotel Aerotel Smile Makassar.
Diikuti sebanyak 250 peserta yang berbagai kalangan mulai dari siswa, mahasiswa hingga guru. Dalam kegiatan ini, terselip juga berbagai kegiatan lomba untuk memacu semangat menulis para peserta. Di antaranya lomba Karya Tulis Ilmiah (KTI) di tingkat Guru, lomba menulis Esai tingkat Mahasiswa dan lomba Penulisan Cerita Rakyat di tingkat siswa.
Di hari terakhir, akan dipilih 10 peserta terbaik dari masing-masing bidang untuk mempresentasikan hasil karya tulisnya. Setelah itu akan ditentukan enam peserta untuk mendapat juara I sampai juara III dan harapan I sampai harapan III, masing-masing dari bidang akan diambil dua orang untuk mewakili ke tingkat nasional.
Semoga GIMM benar-benar bisa menjadi rahim bagi generasi literasi di Indonesia. Sehingga output dari kegiatan ini minimal mampu melahirkan penulis-penulis berbakat dan juga pembaca-pembaca yang dapat menularkan virus membacanya kepada masyarakat di sekitarnya. Bukankah pepatah Cina mengatakan, “perjalanan seribu mil dimulai dari langkah pertama?” Terima kasih telah mengundang penulis menjadi satu bagian dari proses literasi ini. Semoga!
*Tulisan ini diterbitkan pertama kali di Rubrik Opini Harian Fajar Makassar, 13 Oktober 2016
Via Fajar online sila klik ini.
![]() |
Harian Fajar, 13 Oktober 2016 |
Jika Anda tidak dapat terbang, maka larilah. Jika Anda tidak dapat berlari, maka berjalanlah. Jika Anda tidak dapat berjalan, maka merangkaklah. Tetapi apapun yang Anda lakukan, Anda harus tetap bergerak ke depan.
(Martin Luther King Jr.)
GERAKAN Indonesia Membaca-Menulis atau yang disingkat GIMM telah mengaplikasikan kalimat di atas. Walaupun banyak kendala menghadang, namun gerakan ini tak pernah mati suri. Gerakan yang dipelopori pemerintah melalui kementerian pendidikan dan kebudayaan mengingatkan kepada kita akan pentingnya perubahan yang diawali dari sebuah gerakan. Gerakan yang selalu membawa perubahan untuk tetap bergerak ke depan.
Badan Balai Bahasa Provinsi di seluruh Indonesia, rupaya sudah melancarkan aksinya dalam rangka memahamkan kepada masyarakat akan pentingnya budaya literasi. Budaya literasi atau budaya tulis-menulis, sejatinya memang harus selalu disebarkan ke masyarakat. Mengingat dasar utama ilmu pengetahuan adalah membaca.
Selain itu, Balai Bahasa sudah tentu mengaplikasikan beberapa tuntutan aturan di antaranya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2014 tentang pengembangan, pembinaan, dan pelindungan bahasa dan sastra serta peningkatan fungsi bahasa Indonesia.
Predikat sebagai Negara buta aksara terbesar memang masih tersemat oleh negara ini. Bayangkan saja, data statistik UNESCO yang dilansir tahun 2012 menyebutkan, indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001 persen. Artinya, setiap 1.000 penduduk, hanya satu orang yang memiliki minat baca. Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan bagi semua kalangan.
Jika kita ingin menarik simpulan dari kegiatan membaca dan menulis, maka kegiatan yang lebih dulu harus dilakukan adalah membaca. Membaca adalah asal dari pengetahuan itu bermula. Namun, jangan lupa di sela-sela membaca, kita seharusnya menuntut diri dengan tekad kuat untuk menuliskan apa yang telah dibaca. Itulah asal mula dari menulis, menuliskan apa yang sudah dibaca. Menurut Stephen King, membaca adalah pusat yang tidak bisa dihindari oleh penulis.
Anda pasti mengenal Taufik Ismail. Beliau seorang dokter hewan, namun kepiawaiannya dalam menulis tak bisa dipandang sebelah mata. Di angkatan kepenyairannya di negeri ini, melalui karya karyanya terutama puisi, telah membawa namanya sekaligus mengharumkan bangsa ini hingga ke mancanegara.
Ia pernah bilang begini. Semestinya hanya ada dua yang mesti diajarkan oleh guru Bahasa Indonesia di sekolah. Yakni menulis, menulis menulis, dan membaca, membaca, membaca.
Dialah yang melalui penanya menciptakan ungkapan “tragedi nol buku” yang disematkan untuk bangsa ini. Ia membandingkan persoalan membaca buku di negara-negara lain. Hasilnya ia mendapatkan rata-rata lulusan SMA di Jerman membaca 32 judul buku, di Belanda 30 buku, Rusia 12 buku, Jepang 15 buku, Singapura 6 buku, Malaysia 6 buku, Brunei 7 Buku, sedangkan Indonesia nol buku.
Kata ‘nol buku’ rasa rasanya sangat memukul generasi muda bangsa ini. Begitu rendahnyakah kualitas baca di negeri ini? Kualitas menulis apalagi? Membaca dan menulis tentu dua hal yang saling berhubungan. Tak bisa dipisahkan begitu saja. Setiap penulis senantiasa haus akan bacaan. Tulisan yang baik akan didahului dengan bacaan yang baik pula.
Kita pasti sudah tahu apa maksud dari pernyataan tersebut. Sebab boleh dibilang, guru Bahasa Indonesia kita sejak SD, SMP, SMA dan mungkin hingga di Perguruan Tinggi, hanya mengajarkan teori-teori kebahasaan semata. Padahal yang utama dari itu semua adalah pengaplikasiannya.
Telah lama kita mengenal dan mempelajari teori menulis, namun apa hasilnya? Anak didik tak diajar menulis sebebas bebasnya. Pelajar hanya dibatasi dengan teori. Padahal, dalam menulis penting adanya imajinasi. Bukankah imajinasi seseorang itu berbeda-beda dan tak bisa dibatasi?
Perhatian pemerintah melalui Badan Balai Bahasa sepertinya patut diapresiasi. Untuk Balai Bahasa Sulawesi Selatan, Gerakan Indonesia Membaca-Menulis (GIMM) se-Kota Makassar ini dilaksanakan pada hari Senin-Rabu (10-12 Oktober 2016) di Hotel Aerotel Smile Makassar.
Diikuti sebanyak 250 peserta yang berbagai kalangan mulai dari siswa, mahasiswa hingga guru. Dalam kegiatan ini, terselip juga berbagai kegiatan lomba untuk memacu semangat menulis para peserta. Di antaranya lomba Karya Tulis Ilmiah (KTI) di tingkat Guru, lomba menulis Esai tingkat Mahasiswa dan lomba Penulisan Cerita Rakyat di tingkat siswa.
Di hari terakhir, akan dipilih 10 peserta terbaik dari masing-masing bidang untuk mempresentasikan hasil karya tulisnya. Setelah itu akan ditentukan enam peserta untuk mendapat juara I sampai juara III dan harapan I sampai harapan III, masing-masing dari bidang akan diambil dua orang untuk mewakili ke tingkat nasional.
Semoga GIMM benar-benar bisa menjadi rahim bagi generasi literasi di Indonesia. Sehingga output dari kegiatan ini minimal mampu melahirkan penulis-penulis berbakat dan juga pembaca-pembaca yang dapat menularkan virus membacanya kepada masyarakat di sekitarnya. Bukankah pepatah Cina mengatakan, “perjalanan seribu mil dimulai dari langkah pertama?” Terima kasih telah mengundang penulis menjadi satu bagian dari proses literasi ini. Semoga!
*Tulisan ini diterbitkan pertama kali di Rubrik Opini Harian Fajar Makassar, 13 Oktober 2016
Via Fajar online sila klik ini.
Badan Balai Bahasa Provinsi di seluruh Indonesia, rupaya sudah melancarkan aksinya dalam rangka memahamkan kepada masyarakat akan pentingnya budaya literasi. Budaya literasi atau budaya tulis-menulis, sejatinya memang harus selalu disebarkan ke masyarakat. Mengingat dasar utama ilmu pengetahuan adalah membaca.
Selain itu, Balai Bahasa sudah tentu mengaplikasikan beberapa tuntutan aturan di antaranya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2014 tentang pengembangan, pembinaan, dan pelindungan bahasa dan sastra serta peningkatan fungsi bahasa Indonesia.
Predikat ‘Nol Buku’
Predikat sebagai Negara buta aksara terbesar memang masih tersemat oleh negara ini. Bayangkan saja, data statistik UNESCO yang dilansir tahun 2012 menyebutkan, indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001 persen. Artinya, setiap 1.000 penduduk, hanya satu orang yang memiliki minat baca. Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan bagi semua kalangan.
Jika kita ingin menarik simpulan dari kegiatan membaca dan menulis, maka kegiatan yang lebih dulu harus dilakukan adalah membaca. Membaca adalah asal dari pengetahuan itu bermula. Namun, jangan lupa di sela-sela membaca, kita seharusnya menuntut diri dengan tekad kuat untuk menuliskan apa yang telah dibaca. Itulah asal mula dari menulis, menuliskan apa yang sudah dibaca. Menurut Stephen King, membaca adalah pusat yang tidak bisa dihindari oleh penulis.
Anda pasti mengenal Taufik Ismail. Beliau seorang dokter hewan, namun kepiawaiannya dalam menulis tak bisa dipandang sebelah mata. Di angkatan kepenyairannya di negeri ini, melalui karya karyanya terutama puisi, telah membawa namanya sekaligus mengharumkan bangsa ini hingga ke mancanegara.
Ia pernah bilang begini. Semestinya hanya ada dua yang mesti diajarkan oleh guru Bahasa Indonesia di sekolah. Yakni menulis, menulis menulis, dan membaca, membaca, membaca.
Dialah yang melalui penanya menciptakan ungkapan “tragedi nol buku” yang disematkan untuk bangsa ini. Ia membandingkan persoalan membaca buku di negara-negara lain. Hasilnya ia mendapatkan rata-rata lulusan SMA di Jerman membaca 32 judul buku, di Belanda 30 buku, Rusia 12 buku, Jepang 15 buku, Singapura 6 buku, Malaysia 6 buku, Brunei 7 Buku, sedangkan Indonesia nol buku.
Kata ‘nol buku’ rasa rasanya sangat memukul generasi muda bangsa ini. Begitu rendahnyakah kualitas baca di negeri ini? Kualitas menulis apalagi? Membaca dan menulis tentu dua hal yang saling berhubungan. Tak bisa dipisahkan begitu saja. Setiap penulis senantiasa haus akan bacaan. Tulisan yang baik akan didahului dengan bacaan yang baik pula.
Kita pasti sudah tahu apa maksud dari pernyataan tersebut. Sebab boleh dibilang, guru Bahasa Indonesia kita sejak SD, SMP, SMA dan mungkin hingga di Perguruan Tinggi, hanya mengajarkan teori-teori kebahasaan semata. Padahal yang utama dari itu semua adalah pengaplikasiannya.
Telah lama kita mengenal dan mempelajari teori menulis, namun apa hasilnya? Anak didik tak diajar menulis sebebas bebasnya. Pelajar hanya dibatasi dengan teori. Padahal, dalam menulis penting adanya imajinasi. Bukankah imajinasi seseorang itu berbeda-beda dan tak bisa dibatasi?
GIMM
Perhatian pemerintah melalui Badan Balai Bahasa sepertinya patut diapresiasi. Untuk Balai Bahasa Sulawesi Selatan, Gerakan Indonesia Membaca-Menulis (GIMM) se-Kota Makassar ini dilaksanakan pada hari Senin-Rabu (10-12 Oktober 2016) di Hotel Aerotel Smile Makassar.
Diikuti sebanyak 250 peserta yang berbagai kalangan mulai dari siswa, mahasiswa hingga guru. Dalam kegiatan ini, terselip juga berbagai kegiatan lomba untuk memacu semangat menulis para peserta. Di antaranya lomba Karya Tulis Ilmiah (KTI) di tingkat Guru, lomba menulis Esai tingkat Mahasiswa dan lomba Penulisan Cerita Rakyat di tingkat siswa.
Di hari terakhir, akan dipilih 10 peserta terbaik dari masing-masing bidang untuk mempresentasikan hasil karya tulisnya. Setelah itu akan ditentukan enam peserta untuk mendapat juara I sampai juara III dan harapan I sampai harapan III, masing-masing dari bidang akan diambil dua orang untuk mewakili ke tingkat nasional.
Semoga GIMM benar-benar bisa menjadi rahim bagi generasi literasi di Indonesia. Sehingga output dari kegiatan ini minimal mampu melahirkan penulis-penulis berbakat dan juga pembaca-pembaca yang dapat menularkan virus membacanya kepada masyarakat di sekitarnya. Bukankah pepatah Cina mengatakan, “perjalanan seribu mil dimulai dari langkah pertama?” Terima kasih telah mengundang penulis menjadi satu bagian dari proses literasi ini. Semoga!
*Tulisan ini diterbitkan pertama kali di Rubrik Opini Harian Fajar Makassar, 13 Oktober 2016
Via Fajar online sila klik ini.
![]() |
Harian Fajar, 13 Oktober 2016 |
Jika Anda tidak dapat terbang, maka larilah. Jika Anda tidak dapat berlari, maka berjalanlah. Jika Anda tidak dapat berjalan, maka merangkaklah. Tetapi apapun yang Anda lakukan, Anda harus tetap bergerak ke depan.
(Martin Luther King Jr.)
GERAKAN Indonesia Membaca-Menulis atau yang disingkat GIMM telah mengaplikasikan kalimat di atas. Walaupun banyak kendala menghadang, namun gerakan ini tak pernah mati suri. Gerakan yang dipelopori pemerintah melalui kementerian pendidikan dan kebudayaan mengingatkan kepada kita akan pentingnya perubahan yang diawali dari sebuah gerakan. Gerakan yang selalu membawa perubahan untuk tetap bergerak ke depan.
Badan Balai Bahasa Provinsi di seluruh Indonesia, rupaya sudah melancarkan aksinya dalam rangka memahamkan kepada masyarakat akan pentingnya budaya literasi. Budaya literasi atau budaya tulis-menulis, sejatinya memang harus selalu disebarkan ke masyarakat. Mengingat dasar utama ilmu pengetahuan adalah membaca.
Selain itu, Balai Bahasa sudah tentu mengaplikasikan beberapa tuntutan aturan di antaranya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2014 tentang pengembangan, pembinaan, dan pelindungan bahasa dan sastra serta peningkatan fungsi bahasa Indonesia.
Predikat sebagai Negara buta aksara terbesar memang masih tersemat oleh negara ini. Bayangkan saja, data statistik UNESCO yang dilansir tahun 2012 menyebutkan, indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001 persen. Artinya, setiap 1.000 penduduk, hanya satu orang yang memiliki minat baca. Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan bagi semua kalangan.
Jika kita ingin menarik simpulan dari kegiatan membaca dan menulis, maka kegiatan yang lebih dulu harus dilakukan adalah membaca. Membaca adalah asal dari pengetahuan itu bermula. Namun, jangan lupa di sela-sela membaca, kita seharusnya menuntut diri dengan tekad kuat untuk menuliskan apa yang telah dibaca. Itulah asal mula dari menulis, menuliskan apa yang sudah dibaca. Menurut Stephen King, membaca adalah pusat yang tidak bisa dihindari oleh penulis.
Anda pasti mengenal Taufik Ismail. Beliau seorang dokter hewan, namun kepiawaiannya dalam menulis tak bisa dipandang sebelah mata. Di angkatan kepenyairannya di negeri ini, melalui karya karyanya terutama puisi, telah membawa namanya sekaligus mengharumkan bangsa ini hingga ke mancanegara.
Ia pernah bilang begini. Semestinya hanya ada dua yang mesti diajarkan oleh guru Bahasa Indonesia di sekolah. Yakni menulis, menulis menulis, dan membaca, membaca, membaca.
Dialah yang melalui penanya menciptakan ungkapan “tragedi nol buku” yang disematkan untuk bangsa ini. Ia membandingkan persoalan membaca buku di negara-negara lain. Hasilnya ia mendapatkan rata-rata lulusan SMA di Jerman membaca 32 judul buku, di Belanda 30 buku, Rusia 12 buku, Jepang 15 buku, Singapura 6 buku, Malaysia 6 buku, Brunei 7 Buku, sedangkan Indonesia nol buku.
Kata ‘nol buku’ rasa rasanya sangat memukul generasi muda bangsa ini. Begitu rendahnyakah kualitas baca di negeri ini? Kualitas menulis apalagi? Membaca dan menulis tentu dua hal yang saling berhubungan. Tak bisa dipisahkan begitu saja. Setiap penulis senantiasa haus akan bacaan. Tulisan yang baik akan didahului dengan bacaan yang baik pula.
Kita pasti sudah tahu apa maksud dari pernyataan tersebut. Sebab boleh dibilang, guru Bahasa Indonesia kita sejak SD, SMP, SMA dan mungkin hingga di Perguruan Tinggi, hanya mengajarkan teori-teori kebahasaan semata. Padahal yang utama dari itu semua adalah pengaplikasiannya.
Telah lama kita mengenal dan mempelajari teori menulis, namun apa hasilnya? Anak didik tak diajar menulis sebebas bebasnya. Pelajar hanya dibatasi dengan teori. Padahal, dalam menulis penting adanya imajinasi. Bukankah imajinasi seseorang itu berbeda-beda dan tak bisa dibatasi?
Perhatian pemerintah melalui Badan Balai Bahasa sepertinya patut diapresiasi. Untuk Balai Bahasa Sulawesi Selatan, Gerakan Indonesia Membaca-Menulis (GIMM) se-Kota Makassar ini dilaksanakan pada hari Senin-Rabu (10-12 Oktober 2016) di Hotel Aerotel Smile Makassar.
Diikuti sebanyak 250 peserta yang berbagai kalangan mulai dari siswa, mahasiswa hingga guru. Dalam kegiatan ini, terselip juga berbagai kegiatan lomba untuk memacu semangat menulis para peserta. Di antaranya lomba Karya Tulis Ilmiah (KTI) di tingkat Guru, lomba menulis Esai tingkat Mahasiswa dan lomba Penulisan Cerita Rakyat di tingkat siswa.
Di hari terakhir, akan dipilih 10 peserta terbaik dari masing-masing bidang untuk mempresentasikan hasil karya tulisnya. Setelah itu akan ditentukan enam peserta untuk mendapat juara I sampai juara III dan harapan I sampai harapan III, masing-masing dari bidang akan diambil dua orang untuk mewakili ke tingkat nasional.
Semoga GIMM benar-benar bisa menjadi rahim bagi generasi literasi di Indonesia. Sehingga output dari kegiatan ini minimal mampu melahirkan penulis-penulis berbakat dan juga pembaca-pembaca yang dapat menularkan virus membacanya kepada masyarakat di sekitarnya. Bukankah pepatah Cina mengatakan, “perjalanan seribu mil dimulai dari langkah pertama?” Terima kasih telah mengundang penulis menjadi satu bagian dari proses literasi ini. Semoga!
*Tulisan ini diterbitkan pertama kali di Rubrik Opini Harian Fajar Makassar, 13 Oktober 2016
Via Fajar online sila klik ini.
Badan Balai Bahasa Provinsi di seluruh Indonesia, rupaya sudah melancarkan aksinya dalam rangka memahamkan kepada masyarakat akan pentingnya budaya literasi. Budaya literasi atau budaya tulis-menulis, sejatinya memang harus selalu disebarkan ke masyarakat. Mengingat dasar utama ilmu pengetahuan adalah membaca.
Selain itu, Balai Bahasa sudah tentu mengaplikasikan beberapa tuntutan aturan di antaranya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2014 tentang pengembangan, pembinaan, dan pelindungan bahasa dan sastra serta peningkatan fungsi bahasa Indonesia.
Predikat ‘Nol Buku’
Predikat sebagai Negara buta aksara terbesar memang masih tersemat oleh negara ini. Bayangkan saja, data statistik UNESCO yang dilansir tahun 2012 menyebutkan, indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001 persen. Artinya, setiap 1.000 penduduk, hanya satu orang yang memiliki minat baca. Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan bagi semua kalangan.
Jika kita ingin menarik simpulan dari kegiatan membaca dan menulis, maka kegiatan yang lebih dulu harus dilakukan adalah membaca. Membaca adalah asal dari pengetahuan itu bermula. Namun, jangan lupa di sela-sela membaca, kita seharusnya menuntut diri dengan tekad kuat untuk menuliskan apa yang telah dibaca. Itulah asal mula dari menulis, menuliskan apa yang sudah dibaca. Menurut Stephen King, membaca adalah pusat yang tidak bisa dihindari oleh penulis.
Anda pasti mengenal Taufik Ismail. Beliau seorang dokter hewan, namun kepiawaiannya dalam menulis tak bisa dipandang sebelah mata. Di angkatan kepenyairannya di negeri ini, melalui karya karyanya terutama puisi, telah membawa namanya sekaligus mengharumkan bangsa ini hingga ke mancanegara.
Ia pernah bilang begini. Semestinya hanya ada dua yang mesti diajarkan oleh guru Bahasa Indonesia di sekolah. Yakni menulis, menulis menulis, dan membaca, membaca, membaca.
Dialah yang melalui penanya menciptakan ungkapan “tragedi nol buku” yang disematkan untuk bangsa ini. Ia membandingkan persoalan membaca buku di negara-negara lain. Hasilnya ia mendapatkan rata-rata lulusan SMA di Jerman membaca 32 judul buku, di Belanda 30 buku, Rusia 12 buku, Jepang 15 buku, Singapura 6 buku, Malaysia 6 buku, Brunei 7 Buku, sedangkan Indonesia nol buku.
Kata ‘nol buku’ rasa rasanya sangat memukul generasi muda bangsa ini. Begitu rendahnyakah kualitas baca di negeri ini? Kualitas menulis apalagi? Membaca dan menulis tentu dua hal yang saling berhubungan. Tak bisa dipisahkan begitu saja. Setiap penulis senantiasa haus akan bacaan. Tulisan yang baik akan didahului dengan bacaan yang baik pula.
Kita pasti sudah tahu apa maksud dari pernyataan tersebut. Sebab boleh dibilang, guru Bahasa Indonesia kita sejak SD, SMP, SMA dan mungkin hingga di Perguruan Tinggi, hanya mengajarkan teori-teori kebahasaan semata. Padahal yang utama dari itu semua adalah pengaplikasiannya.
Telah lama kita mengenal dan mempelajari teori menulis, namun apa hasilnya? Anak didik tak diajar menulis sebebas bebasnya. Pelajar hanya dibatasi dengan teori. Padahal, dalam menulis penting adanya imajinasi. Bukankah imajinasi seseorang itu berbeda-beda dan tak bisa dibatasi?
GIMM
Perhatian pemerintah melalui Badan Balai Bahasa sepertinya patut diapresiasi. Untuk Balai Bahasa Sulawesi Selatan, Gerakan Indonesia Membaca-Menulis (GIMM) se-Kota Makassar ini dilaksanakan pada hari Senin-Rabu (10-12 Oktober 2016) di Hotel Aerotel Smile Makassar.
Diikuti sebanyak 250 peserta yang berbagai kalangan mulai dari siswa, mahasiswa hingga guru. Dalam kegiatan ini, terselip juga berbagai kegiatan lomba untuk memacu semangat menulis para peserta. Di antaranya lomba Karya Tulis Ilmiah (KTI) di tingkat Guru, lomba menulis Esai tingkat Mahasiswa dan lomba Penulisan Cerita Rakyat di tingkat siswa.
Di hari terakhir, akan dipilih 10 peserta terbaik dari masing-masing bidang untuk mempresentasikan hasil karya tulisnya. Setelah itu akan ditentukan enam peserta untuk mendapat juara I sampai juara III dan harapan I sampai harapan III, masing-masing dari bidang akan diambil dua orang untuk mewakili ke tingkat nasional.
Semoga GIMM benar-benar bisa menjadi rahim bagi generasi literasi di Indonesia. Sehingga output dari kegiatan ini minimal mampu melahirkan penulis-penulis berbakat dan juga pembaca-pembaca yang dapat menularkan virus membacanya kepada masyarakat di sekitarnya. Bukankah pepatah Cina mengatakan, “perjalanan seribu mil dimulai dari langkah pertama?” Terima kasih telah mengundang penulis menjadi satu bagian dari proses literasi ini. Semoga!
*Tulisan ini diterbitkan pertama kali di Rubrik Opini Harian Fajar Makassar, 13 Oktober 2016
Via Fajar online sila klik ini.
![]() |
Harian Fajar, 13 Oktober 2016 |
Jika Anda tidak dapat terbang, maka larilah. Jika Anda tidak dapat berlari, maka berjalanlah. Jika Anda tidak dapat berjalan, maka merangkaklah. Tetapi apapun yang Anda lakukan, Anda harus tetap bergerak ke depan.
(Martin Luther King Jr.)
GERAKAN Indonesia Membaca-Menulis atau yang disingkat GIMM telah mengaplikasikan kalimat di atas. Walaupun banyak kendala menghadang, namun gerakan ini tak pernah mati suri. Gerakan yang dipelopori pemerintah melalui kementerian pendidikan dan kebudayaan mengingatkan kepada kita akan pentingnya perubahan yang diawali dari sebuah gerakan. Gerakan yang selalu membawa perubahan untuk tetap bergerak ke depan.
Badan Balai Bahasa Provinsi di seluruh Indonesia, rupaya sudah melancarkan aksinya dalam rangka memahamkan kepada masyarakat akan pentingnya budaya literasi. Budaya literasi atau budaya tulis-menulis, sejatinya memang harus selalu disebarkan ke masyarakat. Mengingat dasar utama ilmu pengetahuan adalah membaca.
Selain itu, Balai Bahasa sudah tentu mengaplikasikan beberapa tuntutan aturan di antaranya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2014 tentang pengembangan, pembinaan, dan pelindungan bahasa dan sastra serta peningkatan fungsi bahasa Indonesia.
Predikat sebagai Negara buta aksara terbesar memang masih tersemat oleh negara ini. Bayangkan saja, data statistik UNESCO yang dilansir tahun 2012 menyebutkan, indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001 persen. Artinya, setiap 1.000 penduduk, hanya satu orang yang memiliki minat baca. Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan bagi semua kalangan.
Jika kita ingin menarik simpulan dari kegiatan membaca dan menulis, maka kegiatan yang lebih dulu harus dilakukan adalah membaca. Membaca adalah asal dari pengetahuan itu bermula. Namun, jangan lupa di sela-sela membaca, kita seharusnya menuntut diri dengan tekad kuat untuk menuliskan apa yang telah dibaca. Itulah asal mula dari menulis, menuliskan apa yang sudah dibaca. Menurut Stephen King, membaca adalah pusat yang tidak bisa dihindari oleh penulis.
Anda pasti mengenal Taufik Ismail. Beliau seorang dokter hewan, namun kepiawaiannya dalam menulis tak bisa dipandang sebelah mata. Di angkatan kepenyairannya di negeri ini, melalui karya karyanya terutama puisi, telah membawa namanya sekaligus mengharumkan bangsa ini hingga ke mancanegara.
Ia pernah bilang begini. Semestinya hanya ada dua yang mesti diajarkan oleh guru Bahasa Indonesia di sekolah. Yakni menulis, menulis menulis, dan membaca, membaca, membaca.
Dialah yang melalui penanya menciptakan ungkapan “tragedi nol buku” yang disematkan untuk bangsa ini. Ia membandingkan persoalan membaca buku di negara-negara lain. Hasilnya ia mendapatkan rata-rata lulusan SMA di Jerman membaca 32 judul buku, di Belanda 30 buku, Rusia 12 buku, Jepang 15 buku, Singapura 6 buku, Malaysia 6 buku, Brunei 7 Buku, sedangkan Indonesia nol buku.
Kata ‘nol buku’ rasa rasanya sangat memukul generasi muda bangsa ini. Begitu rendahnyakah kualitas baca di negeri ini? Kualitas menulis apalagi? Membaca dan menulis tentu dua hal yang saling berhubungan. Tak bisa dipisahkan begitu saja. Setiap penulis senantiasa haus akan bacaan. Tulisan yang baik akan didahului dengan bacaan yang baik pula.
Kita pasti sudah tahu apa maksud dari pernyataan tersebut. Sebab boleh dibilang, guru Bahasa Indonesia kita sejak SD, SMP, SMA dan mungkin hingga di Perguruan Tinggi, hanya mengajarkan teori-teori kebahasaan semata. Padahal yang utama dari itu semua adalah pengaplikasiannya.
Telah lama kita mengenal dan mempelajari teori menulis, namun apa hasilnya? Anak didik tak diajar menulis sebebas bebasnya. Pelajar hanya dibatasi dengan teori. Padahal, dalam menulis penting adanya imajinasi. Bukankah imajinasi seseorang itu berbeda-beda dan tak bisa dibatasi?
Perhatian pemerintah melalui Badan Balai Bahasa sepertinya patut diapresiasi. Untuk Balai Bahasa Sulawesi Selatan, Gerakan Indonesia Membaca-Menulis (GIMM) se-Kota Makassar ini dilaksanakan pada hari Senin-Rabu (10-12 Oktober 2016) di Hotel Aerotel Smile Makassar.
Diikuti sebanyak 250 peserta yang berbagai kalangan mulai dari siswa, mahasiswa hingga guru. Dalam kegiatan ini, terselip juga berbagai kegiatan lomba untuk memacu semangat menulis para peserta. Di antaranya lomba Karya Tulis Ilmiah (KTI) di tingkat Guru, lomba menulis Esai tingkat Mahasiswa dan lomba Penulisan Cerita Rakyat di tingkat siswa.
Di hari terakhir, akan dipilih 10 peserta terbaik dari masing-masing bidang untuk mempresentasikan hasil karya tulisnya. Setelah itu akan ditentukan enam peserta untuk mendapat juara I sampai juara III dan harapan I sampai harapan III, masing-masing dari bidang akan diambil dua orang untuk mewakili ke tingkat nasional.
Semoga GIMM benar-benar bisa menjadi rahim bagi generasi literasi di Indonesia. Sehingga output dari kegiatan ini minimal mampu melahirkan penulis-penulis berbakat dan juga pembaca-pembaca yang dapat menularkan virus membacanya kepada masyarakat di sekitarnya. Bukankah pepatah Cina mengatakan, “perjalanan seribu mil dimulai dari langkah pertama?” Terima kasih telah mengundang penulis menjadi satu bagian dari proses literasi ini. Semoga!
*Tulisan ini diterbitkan pertama kali di Rubrik Opini Harian Fajar Makassar, 13 Oktober 2016
Via Fajar online sila klik ini.
Badan Balai Bahasa Provinsi di seluruh Indonesia, rupaya sudah melancarkan aksinya dalam rangka memahamkan kepada masyarakat akan pentingnya budaya literasi. Budaya literasi atau budaya tulis-menulis, sejatinya memang harus selalu disebarkan ke masyarakat. Mengingat dasar utama ilmu pengetahuan adalah membaca.
Selain itu, Balai Bahasa sudah tentu mengaplikasikan beberapa tuntutan aturan di antaranya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2014 tentang pengembangan, pembinaan, dan pelindungan bahasa dan sastra serta peningkatan fungsi bahasa Indonesia.
Predikat ‘Nol Buku’
Predikat sebagai Negara buta aksara terbesar memang masih tersemat oleh negara ini. Bayangkan saja, data statistik UNESCO yang dilansir tahun 2012 menyebutkan, indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001 persen. Artinya, setiap 1.000 penduduk, hanya satu orang yang memiliki minat baca. Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan bagi semua kalangan.
Jika kita ingin menarik simpulan dari kegiatan membaca dan menulis, maka kegiatan yang lebih dulu harus dilakukan adalah membaca. Membaca adalah asal dari pengetahuan itu bermula. Namun, jangan lupa di sela-sela membaca, kita seharusnya menuntut diri dengan tekad kuat untuk menuliskan apa yang telah dibaca. Itulah asal mula dari menulis, menuliskan apa yang sudah dibaca. Menurut Stephen King, membaca adalah pusat yang tidak bisa dihindari oleh penulis.
Anda pasti mengenal Taufik Ismail. Beliau seorang dokter hewan, namun kepiawaiannya dalam menulis tak bisa dipandang sebelah mata. Di angkatan kepenyairannya di negeri ini, melalui karya karyanya terutama puisi, telah membawa namanya sekaligus mengharumkan bangsa ini hingga ke mancanegara.
Ia pernah bilang begini. Semestinya hanya ada dua yang mesti diajarkan oleh guru Bahasa Indonesia di sekolah. Yakni menulis, menulis menulis, dan membaca, membaca, membaca.
Dialah yang melalui penanya menciptakan ungkapan “tragedi nol buku” yang disematkan untuk bangsa ini. Ia membandingkan persoalan membaca buku di negara-negara lain. Hasilnya ia mendapatkan rata-rata lulusan SMA di Jerman membaca 32 judul buku, di Belanda 30 buku, Rusia 12 buku, Jepang 15 buku, Singapura 6 buku, Malaysia 6 buku, Brunei 7 Buku, sedangkan Indonesia nol buku.
Kata ‘nol buku’ rasa rasanya sangat memukul generasi muda bangsa ini. Begitu rendahnyakah kualitas baca di negeri ini? Kualitas menulis apalagi? Membaca dan menulis tentu dua hal yang saling berhubungan. Tak bisa dipisahkan begitu saja. Setiap penulis senantiasa haus akan bacaan. Tulisan yang baik akan didahului dengan bacaan yang baik pula.
Kita pasti sudah tahu apa maksud dari pernyataan tersebut. Sebab boleh dibilang, guru Bahasa Indonesia kita sejak SD, SMP, SMA dan mungkin hingga di Perguruan Tinggi, hanya mengajarkan teori-teori kebahasaan semata. Padahal yang utama dari itu semua adalah pengaplikasiannya.
Telah lama kita mengenal dan mempelajari teori menulis, namun apa hasilnya? Anak didik tak diajar menulis sebebas bebasnya. Pelajar hanya dibatasi dengan teori. Padahal, dalam menulis penting adanya imajinasi. Bukankah imajinasi seseorang itu berbeda-beda dan tak bisa dibatasi?
GIMM
Perhatian pemerintah melalui Badan Balai Bahasa sepertinya patut diapresiasi. Untuk Balai Bahasa Sulawesi Selatan, Gerakan Indonesia Membaca-Menulis (GIMM) se-Kota Makassar ini dilaksanakan pada hari Senin-Rabu (10-12 Oktober 2016) di Hotel Aerotel Smile Makassar.
Diikuti sebanyak 250 peserta yang berbagai kalangan mulai dari siswa, mahasiswa hingga guru. Dalam kegiatan ini, terselip juga berbagai kegiatan lomba untuk memacu semangat menulis para peserta. Di antaranya lomba Karya Tulis Ilmiah (KTI) di tingkat Guru, lomba menulis Esai tingkat Mahasiswa dan lomba Penulisan Cerita Rakyat di tingkat siswa.
Di hari terakhir, akan dipilih 10 peserta terbaik dari masing-masing bidang untuk mempresentasikan hasil karya tulisnya. Setelah itu akan ditentukan enam peserta untuk mendapat juara I sampai juara III dan harapan I sampai harapan III, masing-masing dari bidang akan diambil dua orang untuk mewakili ke tingkat nasional.
Semoga GIMM benar-benar bisa menjadi rahim bagi generasi literasi di Indonesia. Sehingga output dari kegiatan ini minimal mampu melahirkan penulis-penulis berbakat dan juga pembaca-pembaca yang dapat menularkan virus membacanya kepada masyarakat di sekitarnya. Bukankah pepatah Cina mengatakan, “perjalanan seribu mil dimulai dari langkah pertama?” Terima kasih telah mengundang penulis menjadi satu bagian dari proses literasi ini. Semoga!
*Tulisan ini diterbitkan pertama kali di Rubrik Opini Harian Fajar Makassar, 13 Oktober 2016
Via Fajar online sila klik ini.
![]() |
Harian Fajar, 13 Oktober 2016 |
Jika Anda tidak dapat terbang, maka larilah. Jika Anda tidak dapat berlari, maka berjalanlah. Jika Anda tidak dapat berjalan, maka merangkaklah. Tetapi apapun yang Anda lakukan, Anda harus tetap bergerak ke depan.
(Martin Luther King Jr.)
GERAKAN Indonesia Membaca-Menulis atau yang disingkat GIMM telah mengaplikasikan kalimat di atas. Walaupun banyak kendala menghadang, namun gerakan ini tak pernah mati suri. Gerakan yang dipelopori pemerintah melalui kementerian pendidikan dan kebudayaan mengingatkan kepada kita akan pentingnya perubahan yang diawali dari sebuah gerakan. Gerakan yang selalu membawa perubahan untuk tetap bergerak ke depan.
Badan Balai Bahasa Provinsi di seluruh Indonesia, rupaya sudah melancarkan aksinya dalam rangka memahamkan kepada masyarakat akan pentingnya budaya literasi. Budaya literasi atau budaya tulis-menulis, sejatinya memang harus selalu disebarkan ke masyarakat. Mengingat dasar utama ilmu pengetahuan adalah membaca.
Selain itu, Balai Bahasa sudah tentu mengaplikasikan beberapa tuntutan aturan di antaranya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2014 tentang pengembangan, pembinaan, dan pelindungan bahasa dan sastra serta peningkatan fungsi bahasa Indonesia.
Predikat sebagai Negara buta aksara terbesar memang masih tersemat oleh negara ini. Bayangkan saja, data statistik UNESCO yang dilansir tahun 2012 menyebutkan, indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001 persen. Artinya, setiap 1.000 penduduk, hanya satu orang yang memiliki minat baca. Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan bagi semua kalangan.
Jika kita ingin menarik simpulan dari kegiatan membaca dan menulis, maka kegiatan yang lebih dulu harus dilakukan adalah membaca. Membaca adalah asal dari pengetahuan itu bermula. Namun, jangan lupa di sela-sela membaca, kita seharusnya menuntut diri dengan tekad kuat untuk menuliskan apa yang telah dibaca. Itulah asal mula dari menulis, menuliskan apa yang sudah dibaca. Menurut Stephen King, membaca adalah pusat yang tidak bisa dihindari oleh penulis.
Anda pasti mengenal Taufik Ismail. Beliau seorang dokter hewan, namun kepiawaiannya dalam menulis tak bisa dipandang sebelah mata. Di angkatan kepenyairannya di negeri ini, melalui karya karyanya terutama puisi, telah membawa namanya sekaligus mengharumkan bangsa ini hingga ke mancanegara.
Ia pernah bilang begini. Semestinya hanya ada dua yang mesti diajarkan oleh guru Bahasa Indonesia di sekolah. Yakni menulis, menulis menulis, dan membaca, membaca, membaca.
Dialah yang melalui penanya menciptakan ungkapan “tragedi nol buku” yang disematkan untuk bangsa ini. Ia membandingkan persoalan membaca buku di negara-negara lain. Hasilnya ia mendapatkan rata-rata lulusan SMA di Jerman membaca 32 judul buku, di Belanda 30 buku, Rusia 12 buku, Jepang 15 buku, Singapura 6 buku, Malaysia 6 buku, Brunei 7 Buku, sedangkan Indonesia nol buku.
Kata ‘nol buku’ rasa rasanya sangat memukul generasi muda bangsa ini. Begitu rendahnyakah kualitas baca di negeri ini? Kualitas menulis apalagi? Membaca dan menulis tentu dua hal yang saling berhubungan. Tak bisa dipisahkan begitu saja. Setiap penulis senantiasa haus akan bacaan. Tulisan yang baik akan didahului dengan bacaan yang baik pula.
Kita pasti sudah tahu apa maksud dari pernyataan tersebut. Sebab boleh dibilang, guru Bahasa Indonesia kita sejak SD, SMP, SMA dan mungkin hingga di Perguruan Tinggi, hanya mengajarkan teori-teori kebahasaan semata. Padahal yang utama dari itu semua adalah pengaplikasiannya.
Telah lama kita mengenal dan mempelajari teori menulis, namun apa hasilnya? Anak didik tak diajar menulis sebebas bebasnya. Pelajar hanya dibatasi dengan teori. Padahal, dalam menulis penting adanya imajinasi. Bukankah imajinasi seseorang itu berbeda-beda dan tak bisa dibatasi?
Perhatian pemerintah melalui Badan Balai Bahasa sepertinya patut diapresiasi. Untuk Balai Bahasa Sulawesi Selatan, Gerakan Indonesia Membaca-Menulis (GIMM) se-Kota Makassar ini dilaksanakan pada hari Senin-Rabu (10-12 Oktober 2016) di Hotel Aerotel Smile Makassar.
Diikuti sebanyak 250 peserta yang berbagai kalangan mulai dari siswa, mahasiswa hingga guru. Dalam kegiatan ini, terselip juga berbagai kegiatan lomba untuk memacu semangat menulis para peserta. Di antaranya lomba Karya Tulis Ilmiah (KTI) di tingkat Guru, lomba menulis Esai tingkat Mahasiswa dan lomba Penulisan Cerita Rakyat di tingkat siswa.
Di hari terakhir, akan dipilih 10 peserta terbaik dari masing-masing bidang untuk mempresentasikan hasil karya tulisnya. Setelah itu akan ditentukan enam peserta untuk mendapat juara I sampai juara III dan harapan I sampai harapan III, masing-masing dari bidang akan diambil dua orang untuk mewakili ke tingkat nasional.
Semoga GIMM benar-benar bisa menjadi rahim bagi generasi literasi di Indonesia. Sehingga output dari kegiatan ini minimal mampu melahirkan penulis-penulis berbakat dan juga pembaca-pembaca yang dapat menularkan virus membacanya kepada masyarakat di sekitarnya. Bukankah pepatah Cina mengatakan, “perjalanan seribu mil dimulai dari langkah pertama?” Terima kasih telah mengundang penulis menjadi satu bagian dari proses literasi ini. Semoga!
*Tulisan ini diterbitkan pertama kali di Rubrik Opini Harian Fajar Makassar, 13 Oktober 2016
Via Fajar online sila klik ini.
Badan Balai Bahasa Provinsi di seluruh Indonesia, rupaya sudah melancarkan aksinya dalam rangka memahamkan kepada masyarakat akan pentingnya budaya literasi. Budaya literasi atau budaya tulis-menulis, sejatinya memang harus selalu disebarkan ke masyarakat. Mengingat dasar utama ilmu pengetahuan adalah membaca.
Selain itu, Balai Bahasa sudah tentu mengaplikasikan beberapa tuntutan aturan di antaranya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2014 tentang pengembangan, pembinaan, dan pelindungan bahasa dan sastra serta peningkatan fungsi bahasa Indonesia.
Predikat ‘Nol Buku’
Predikat sebagai Negara buta aksara terbesar memang masih tersemat oleh negara ini. Bayangkan saja, data statistik UNESCO yang dilansir tahun 2012 menyebutkan, indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001 persen. Artinya, setiap 1.000 penduduk, hanya satu orang yang memiliki minat baca. Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan bagi semua kalangan.
Jika kita ingin menarik simpulan dari kegiatan membaca dan menulis, maka kegiatan yang lebih dulu harus dilakukan adalah membaca. Membaca adalah asal dari pengetahuan itu bermula. Namun, jangan lupa di sela-sela membaca, kita seharusnya menuntut diri dengan tekad kuat untuk menuliskan apa yang telah dibaca. Itulah asal mula dari menulis, menuliskan apa yang sudah dibaca. Menurut Stephen King, membaca adalah pusat yang tidak bisa dihindari oleh penulis.
Anda pasti mengenal Taufik Ismail. Beliau seorang dokter hewan, namun kepiawaiannya dalam menulis tak bisa dipandang sebelah mata. Di angkatan kepenyairannya di negeri ini, melalui karya karyanya terutama puisi, telah membawa namanya sekaligus mengharumkan bangsa ini hingga ke mancanegara.
Ia pernah bilang begini. Semestinya hanya ada dua yang mesti diajarkan oleh guru Bahasa Indonesia di sekolah. Yakni menulis, menulis menulis, dan membaca, membaca, membaca.
Dialah yang melalui penanya menciptakan ungkapan “tragedi nol buku” yang disematkan untuk bangsa ini. Ia membandingkan persoalan membaca buku di negara-negara lain. Hasilnya ia mendapatkan rata-rata lulusan SMA di Jerman membaca 32 judul buku, di Belanda 30 buku, Rusia 12 buku, Jepang 15 buku, Singapura 6 buku, Malaysia 6 buku, Brunei 7 Buku, sedangkan Indonesia nol buku.
Kata ‘nol buku’ rasa rasanya sangat memukul generasi muda bangsa ini. Begitu rendahnyakah kualitas baca di negeri ini? Kualitas menulis apalagi? Membaca dan menulis tentu dua hal yang saling berhubungan. Tak bisa dipisahkan begitu saja. Setiap penulis senantiasa haus akan bacaan. Tulisan yang baik akan didahului dengan bacaan yang baik pula.
Kita pasti sudah tahu apa maksud dari pernyataan tersebut. Sebab boleh dibilang, guru Bahasa Indonesia kita sejak SD, SMP, SMA dan mungkin hingga di Perguruan Tinggi, hanya mengajarkan teori-teori kebahasaan semata. Padahal yang utama dari itu semua adalah pengaplikasiannya.
Telah lama kita mengenal dan mempelajari teori menulis, namun apa hasilnya? Anak didik tak diajar menulis sebebas bebasnya. Pelajar hanya dibatasi dengan teori. Padahal, dalam menulis penting adanya imajinasi. Bukankah imajinasi seseorang itu berbeda-beda dan tak bisa dibatasi?
GIMM
Perhatian pemerintah melalui Badan Balai Bahasa sepertinya patut diapresiasi. Untuk Balai Bahasa Sulawesi Selatan, Gerakan Indonesia Membaca-Menulis (GIMM) se-Kota Makassar ini dilaksanakan pada hari Senin-Rabu (10-12 Oktober 2016) di Hotel Aerotel Smile Makassar.
Diikuti sebanyak 250 peserta yang berbagai kalangan mulai dari siswa, mahasiswa hingga guru. Dalam kegiatan ini, terselip juga berbagai kegiatan lomba untuk memacu semangat menulis para peserta. Di antaranya lomba Karya Tulis Ilmiah (KTI) di tingkat Guru, lomba menulis Esai tingkat Mahasiswa dan lomba Penulisan Cerita Rakyat di tingkat siswa.
Di hari terakhir, akan dipilih 10 peserta terbaik dari masing-masing bidang untuk mempresentasikan hasil karya tulisnya. Setelah itu akan ditentukan enam peserta untuk mendapat juara I sampai juara III dan harapan I sampai harapan III, masing-masing dari bidang akan diambil dua orang untuk mewakili ke tingkat nasional.
Semoga GIMM benar-benar bisa menjadi rahim bagi generasi literasi di Indonesia. Sehingga output dari kegiatan ini minimal mampu melahirkan penulis-penulis berbakat dan juga pembaca-pembaca yang dapat menularkan virus membacanya kepada masyarakat di sekitarnya. Bukankah pepatah Cina mengatakan, “perjalanan seribu mil dimulai dari langkah pertama?” Terima kasih telah mengundang penulis menjadi satu bagian dari proses literasi ini. Semoga!
*Tulisan ini diterbitkan pertama kali di Rubrik Opini Harian Fajar Makassar, 13 Oktober 2016
Via Fajar online sila klik ini.

Lihat Detail
Opini Muh. Galang Pratama Menjadikan Membaca Serupa Melahap Makanan Saat Lapar
PADA dasarnya banyak hal yang mesti kita perbaiki. Sutarto (2015) menyatakan bahwa Indonesia masuk dalam data negara yang menempati posisi paling bawah dalam hal minat baca di Asia. Ini baru di Asia, apalagi di dunia? Tahukah kawan-kawan mengapa itu bisa terjadi? Sebab salah satu budaya yang terus mengakar pada diri generasi muda bangsa ini adalah malas membaca.
Sulit sekali membiasakan sikap gemar membaca. Padahal sebenarnya teman-teman sudah tahu apa pentingnya membaca. Iya kan? Membaca hanya perlu dibiasakan, seperti kata para motivator. Bahkan menurut penulis, membaca kalau perlu dipaksakan datang dari dalam diri sendiri (bagi pemula). Jika teman-teman sudah merasakan nikmatnya membaca, maka budaya membaca tak akan lepas pada diri teman-teman. Membaca seolah-olah menjadi kebutuhan pokok yang tak bisa dilepas seperti halnya makan. Tentu teman-teman akan selalu mencari makan ketika sedang lapar, bukan begitu?
2 Mei 2016 bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Tahukah teman-teman pelajaran apa yang kita bisa petik dari peringatan hardiknas kali ini? Bukan hanya mengadakan seremonial semata. Kita mestinya merenung. Sudah sampai di mana sumbangsih kita pada negara dalam hal pendidikan. Apakah kita sudah memenuhi pesan-pesan dari para pejuang kita yang rela mati demi membela keutuhan bangsa? Apa yang mereka inginkan dari kita? Mereka tidak lagi menginginkan agar kita mengangkat senjata dan meneriakkan kalimat tauhid atau kalimat “Merdeka atau mati!” lalu pergi berperang. Bukan itu kawan! Yang mereka inginkan hanyalah bagaimana agar kita memiliki ambisi untuk belajar dan ambisi dalam mewujudkan impian.
Ambisi dalam arti motivasi yang tinggi untuk mencapai kemajuan pribadi (Sarwono, 2007: 14). Kita mestinya melawan pembodohan. Pembodohan yang diakibatkan oleh banyak hal, seperti banyak tidur, nonton di depan laptop berlama-lama, tak bisa menggunakan gadget/handphone dengan bijak dan tentunya masalah yang lebih krusial, malas membaca. Kendalikanlah waktu, serupa mengendalikan nafsu saat berpuasa. Sebab teman tahu, apa yang membuat kita berbeda dari Rio Haryanto anak Indonesia pertama yang sukses dengan bakatnya mengemudikan Formula 1 dan membawa bendera merah putih ke seluruh dunia? Di samping itu, ternyata
PADA dasarnya banyak hal yang mesti kita perbaiki. Sutarto (2015) menyatakan bahwa Indonesia masuk dalam data negara yang menempati posisi paling bawah dalam hal minat baca di Asia. Ini baru di Asia, apalagi di dunia? Tahukah kawan-kawan mengapa itu bisa terjadi? Sebab salah satu budaya yang terus mengakar pada diri generasi muda bangsa ini adalah malas membaca.
Sulit sekali membiasakan sikap gemar membaca. Padahal sebenarnya teman-teman sudah tahu apa pentingnya membaca. Iya kan? Membaca hanya perlu dibiasakan, seperti kata para motivator. Bahkan menurut penulis, membaca kalau perlu dipaksakan datang dari dalam diri sendiri (bagi pemula). Jika teman-teman sudah merasakan nikmatnya membaca, maka budaya membaca tak akan lepas pada diri teman-teman. Membaca seolah-olah menjadi kebutuhan pokok yang tak bisa dilepas seperti halnya makan. Tentu teman-teman akan selalu mencari makan ketika sedang lapar, bukan begitu?
2 Mei 2016 bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Tahukah teman-teman pelajaran apa yang kita bisa petik dari peringatan hardiknas kali ini? Bukan hanya mengadakan seremonial semata. Kita mestinya merenung. Sudah sampai di mana sumbangsih kita pada negara dalam hal pendidikan. Apakah kita sudah memenuhi pesan-pesan dari para pejuang kita yang rela mati demi membela keutuhan bangsa? Apa yang mereka inginkan dari kita? Mereka tidak lagi menginginkan agar kita mengangkat senjata dan meneriakkan kalimat tauhid atau kalimat “Merdeka atau mati!” lalu pergi berperang. Bukan itu kawan! Yang mereka inginkan hanyalah bagaimana agar kita memiliki ambisi untuk belajar dan ambisi dalam mewujudkan impian.
Ambisi dalam arti motivasi yang tinggi untuk mencapai kemajuan pribadi (Sarwono, 2007: 14). Kita mestinya melawan pembodohan. Pembodohan yang diakibatkan oleh banyak hal, seperti banyak tidur, nonton di depan laptop berlama-lama, tak bisa menggunakan gadget/handphone dengan bijak dan tentunya masalah yang lebih krusial, malas membaca. Kendalikanlah waktu, serupa mengendalikan nafsu saat berpuasa. Sebab teman tahu, apa yang membuat kita berbeda dari Rio Haryanto anak Indonesia pertama yang sukses dengan bakatnya mengemudikan Formula 1 dan membawa bendera merah putih ke seluruh dunia? Di samping itu, ternyata
PADA dasarnya banyak hal yang mesti kita perbaiki. Sutarto (2015) menyatakan bahwa Indonesia masuk dalam data negara yang menempati posisi paling bawah dalam hal minat baca di Asia. Ini baru di Asia, apalagi di dunia? Tahukah kawan-kawan mengapa itu bisa terjadi? Sebab salah satu budaya yang terus mengakar pada diri generasi muda bangsa ini adalah malas membaca.
Sulit sekali membiasakan sikap gemar membaca. Padahal sebenarnya teman-teman sudah tahu apa pentingnya membaca. Iya kan? Membaca hanya perlu dibiasakan, seperti kata para motivator. Bahkan menurut penulis, membaca kalau perlu dipaksakan datang dari dalam diri sendiri (bagi pemula). Jika teman-teman sudah merasakan nikmatnya membaca, maka budaya membaca tak akan lepas pada diri teman-teman. Membaca seolah-olah menjadi kebutuhan pokok yang tak bisa dilepas seperti halnya makan. Tentu teman-teman akan selalu mencari makan ketika sedang lapar, bukan begitu?
2 Mei 2016 bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Tahukah teman-teman pelajaran apa yang kita bisa petik dari peringatan hardiknas kali ini? Bukan hanya mengadakan seremonial semata. Kita mestinya merenung. Sudah sampai di mana sumbangsih kita pada negara dalam hal pendidikan. Apakah kita sudah memenuhi pesan-pesan dari para pejuang kita yang rela mati demi membela keutuhan bangsa? Apa yang mereka inginkan dari kita? Mereka tidak lagi menginginkan agar kita mengangkat senjata dan meneriakkan kalimat tauhid atau kalimat “Merdeka atau mati!” lalu pergi berperang. Bukan itu kawan! Yang mereka inginkan hanyalah bagaimana agar kita memiliki ambisi untuk belajar dan ambisi dalam mewujudkan impian.
Ambisi dalam arti motivasi yang tinggi untuk mencapai kemajuan pribadi (Sarwono, 2007: 14). Kita mestinya melawan pembodohan. Pembodohan yang diakibatkan oleh banyak hal, seperti banyak tidur, nonton di depan laptop berlama-lama, tak bisa menggunakan gadget/handphone dengan bijak dan tentunya masalah yang lebih krusial, malas membaca. Kendalikanlah waktu, serupa mengendalikan nafsu saat berpuasa. Sebab teman tahu, apa yang membuat kita berbeda dari Rio Haryanto anak Indonesia pertama yang sukses dengan bakatnya mengemudikan Formula 1 dan membawa bendera merah putih ke seluruh dunia? Di samping itu, ternyata
PADA dasarnya banyak hal yang mesti kita perbaiki. Sutarto (2015) menyatakan bahwa Indonesia masuk dalam data negara yang menempati posisi paling bawah dalam hal minat baca di Asia. Ini baru di Asia, apalagi di dunia? Tahukah kawan-kawan mengapa itu bisa terjadi? Sebab salah satu budaya yang terus mengakar pada diri generasi muda bangsa ini adalah malas membaca.
Sulit sekali membiasakan sikap gemar membaca. Padahal sebenarnya teman-teman sudah tahu apa pentingnya membaca. Iya kan? Membaca hanya perlu dibiasakan, seperti kata para motivator. Bahkan menurut penulis, membaca kalau perlu dipaksakan datang dari dalam diri sendiri (bagi pemula). Jika teman-teman sudah merasakan nikmatnya membaca, maka budaya membaca tak akan lepas pada diri teman-teman. Membaca seolah-olah menjadi kebutuhan pokok yang tak bisa dilepas seperti halnya makan. Tentu teman-teman akan selalu mencari makan ketika sedang lapar, bukan begitu?
2 Mei 2016 bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Tahukah teman-teman pelajaran apa yang kita bisa petik dari peringatan hardiknas kali ini? Bukan hanya mengadakan seremonial semata. Kita mestinya merenung. Sudah sampai di mana sumbangsih kita pada negara dalam hal pendidikan. Apakah kita sudah memenuhi pesan-pesan dari para pejuang kita yang rela mati demi membela keutuhan bangsa? Apa yang mereka inginkan dari kita? Mereka tidak lagi menginginkan agar kita mengangkat senjata dan meneriakkan kalimat tauhid atau kalimat “Merdeka atau mati!” lalu pergi berperang. Bukan itu kawan! Yang mereka inginkan hanyalah bagaimana agar kita memiliki ambisi untuk belajar dan ambisi dalam mewujudkan impian.
Ambisi dalam arti motivasi yang tinggi untuk mencapai kemajuan pribadi (Sarwono, 2007: 14). Kita mestinya melawan pembodohan. Pembodohan yang diakibatkan oleh banyak hal, seperti banyak tidur, nonton di depan laptop berlama-lama, tak bisa menggunakan gadget/handphone dengan bijak dan tentunya masalah yang lebih krusial, malas membaca. Kendalikanlah waktu, serupa mengendalikan nafsu saat berpuasa. Sebab teman tahu, apa yang membuat kita berbeda dari Rio Haryanto anak Indonesia pertama yang sukses dengan bakatnya mengemudikan Formula 1 dan membawa bendera merah putih ke seluruh dunia? Di samping itu, ternyata
PADA dasarnya banyak hal yang mesti kita perbaiki. Sutarto (2015) menyatakan bahwa Indonesia masuk dalam data negara yang menempati posisi paling bawah dalam hal minat baca di Asia. Ini baru di Asia, apalagi di dunia? Tahukah kawan-kawan mengapa itu bisa terjadi? Sebab salah satu budaya yang terus mengakar pada diri generasi muda bangsa ini adalah malas membaca.
Sulit sekali membiasakan sikap gemar membaca. Padahal sebenarnya teman-teman sudah tahu apa pentingnya membaca. Iya kan? Membaca hanya perlu dibiasakan, seperti kata para motivator. Bahkan menurut penulis, membaca kalau perlu dipaksakan datang dari dalam diri sendiri (bagi pemula). Jika teman-teman sudah merasakan nikmatnya membaca, maka budaya membaca tak akan lepas pada diri teman-teman. Membaca seolah-olah menjadi kebutuhan pokok yang tak bisa dilepas seperti halnya makan. Tentu teman-teman akan selalu mencari makan ketika sedang lapar, bukan begitu?
2 Mei 2016 bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Tahukah teman-teman pelajaran apa yang kita bisa petik dari peringatan hardiknas kali ini? Bukan hanya mengadakan seremonial semata. Kita mestinya merenung. Sudah sampai di mana sumbangsih kita pada negara dalam hal pendidikan. Apakah kita sudah memenuhi pesan-pesan dari para pejuang kita yang rela mati demi membela keutuhan bangsa? Apa yang mereka inginkan dari kita? Mereka tidak lagi menginginkan agar kita mengangkat senjata dan meneriakkan kalimat tauhid atau kalimat “Merdeka atau mati!” lalu pergi berperang. Bukan itu kawan! Yang mereka inginkan hanyalah bagaimana agar kita memiliki ambisi untuk belajar dan ambisi dalam mewujudkan impian.
Ambisi dalam arti motivasi yang tinggi untuk mencapai kemajuan pribadi (Sarwono, 2007: 14). Kita mestinya melawan pembodohan. Pembodohan yang diakibatkan oleh banyak hal, seperti banyak tidur, nonton di depan laptop berlama-lama, tak bisa menggunakan gadget/handphone dengan bijak dan tentunya masalah yang lebih krusial, malas membaca. Kendalikanlah waktu, serupa mengendalikan nafsu saat berpuasa. Sebab teman tahu, apa yang membuat kita berbeda dari Rio Haryanto anak Indonesia pertama yang sukses dengan bakatnya mengemudikan Formula 1 dan membawa bendera merah putih ke seluruh dunia? Di samping itu, ternyata
Subscribe to:
Posts (Atom)