Anda Yakin Akan Maju? Duduklah Sejenak dan Baca Catatan Ini

M Galang Pratama

AKU DIDATANGI
oleh beberapa orang atau lebih tepatnya beberapa kelompok pada bulan ini. Seperti tahun-tahun sebelumnya, akhir tahun menjadi momen penting di jurusanku, tepatnya bagi lembaga intra mahasiswa di kampusku. 

Sebentar lagi yakni pada 14 Desember 2016 mendatang, pemilihan ketua HMJ (Himpunan Mahasiswa Jurusan) akan digelar. Beberapa tim sukses jauh sebelum penetapan calon, sudah mewanti-wanti siapa-siapa yang turut menjadi pemilih pada pemilma (pemilihan mahasiswa) nanti. Mahasiswa yang memiliki kapasitas sebagai pemilih sah dalam pemilma mendatang. Tak lain mereka ialah para ketua-ketua tingkat dan sekretaris kelas.

Banyak cara yang dilakukan oleh sang calon atau tim sukses dari calon untuk dapat mencuri simpati dari para pemilik sah suara di pemilma. Mulai dari janji-janji politik untuk menyiapkan kursi jabatan di kepengurusan lembaga sampai pada janji untuk memperbaiki struktur lembaga intra serta membantu jurusan.

Akan tetapi, bagi sebagian mahasiswa, terutama mahasiswa baru, sangat mudah dirasuki oleh janji politik para tim sukses dan para calon ini menjelang pemilihan. Padahal, jika sekiranya mereka sadar, tak ada yang abadi dalam politik. Seperti ungkapan yang paling sering terdengar, "tak ada musuh/lawan abadi dalam politik, begitupun dengan tak ada kawan abadi dalam politik." Itu artinya, janji politik yang diucapkan oleh sang calon pada masa kampanye tak bisa terlalu dipercaya apalagi mau dijadikan sebagai bukti untuk dipertanggungjawabkan? Oh..tidak bisa!

Setelah melalui beberapa pengalaman,
satu, dua, sampai tiga tahun terakhir, penulis sudah cukup objektif dalam menentukan pilihan. Pemilma HMJ HPK periode tahun 2013-2014 yang memenangkan saudara ARA, telah membuktikan bahwa pentingnya "cari muka" ketika awal masa kampanye. Saat itu masih pemilma raya, artinya semua orang memiliki kapasitas sebagai pemilih. Jika satu kelas berjumlah 42 mahasiswa. maka 42 orang itu akan menentukan pilihannya pada calon yang diusung.

Saat itu, kami mendukung pasang calon yang naik menduduki jabatan sebagai ketua Himpunan. Akan tetapi, di belakang, baru disadari, banyak teman-teman mahasiswa yang berasal dari kelas HPK 7,8 merasa "dikhianati" akan janji politiknya dahulu. 

Selanjutnya pemilihan ketua himpunan periode 2014-2015 yang memenangkan saudara YN. Saat itu, penulis pun berada di belakang calon yang meraih suara terbesar dalam pemilihan. Hingga seketika, walaupun tak ingin mendapatkan jabatan, tapi penulis "disuruh" untuk menjabat sebagai ketua bidang pendidikan dan penalaran. Akan tetapi, begitulah dalam himpunan ini, ketua bidang tak seperti ketua HMJ. Ketua bidang hanya sebagai alat yang tak memiliki kebebeasan bergerak dan menentukan arah program kerja. Apalagi kalau mau bicara anggaran. Hampir seluruh mahasiswa yang memimpin di himpunan ini, ketika dananya sudah cair, maka yang dilakukan kalau bukan "membayar utang" adalah acara besar-besaran yang melibatkan senior-senior atau hanya beberapa orang saja yang punya andil besar dalam kepengurusan himpunan. Itu tak dapat disangkal!

Pemilma yang terakhir penulis rasakan adalah pemilma periode tahun 2015-2016. Di sinilah puncak dari pemilma yang penulis rasakan. Sebab penulis pun menjadi salah satu calon ketua himpunan. Jujur saja, penulis masuk menjadi calon hanya sekadar ajang "mengagetkan" para calon yang lain. Dan itu terbukti pada saat panitia LPP membacakan nama-nama calon ketua himpunan yang resmi mendaftar. Kala itu, masing-masing tim pemenang dari dua kubu seketika menjadi panas. Walau pun penulis sadar, secara organisasi, tak ada yang membekingi suara untuk membuat penulis dipilih. Hanya menggunakan kesadaran moral dan kebaikan hati. 

Lagi-lagi hal tersebut terbukti. Janji-janji politik bermain di situ. Para kubu "berperang" begitu hebat. Terutama saat menjelang hari H pemilihan. Beberapa pemilih harus "diculik" di rumahnya. Oleh temannya sendiri yang kemudian diketahui di belakang bahwa suaranya diganti alias dimandatkan oleh beberapa oknum yang sengaja ingin menjadi pemenang dalam pemilma kala itu. Usut punya usut, ternyata satu pasang calon dari tiga calon itu, dijelek-jelek-kan namanya agar tidak mendapatkan satu suara pun. Itu yang penulis telah rekam sejak setahun lalu sampai hari ini. Bahwa kemenangan pemilma tahun 2015 lalu, adalah kemenangan yang tidak berasal dari kejujuran. Di sini penulis kemudian berpikir, apakah di negeri ini, ada pemilihan (kepala daerah yang akan menduduki pemerintahan) yang jujur? Jika pun ada, maka jumlahnya bisa dihitung jari.

Setelah kejadian itu, penulis banyak mempelajari banyak hal. Pertama, bahwa pemilihan ketua himpunan di jurusan HPK sarat dengan kepentingan organisasi ekstra yakni dari organisasi HMI dan PMII. Dalam tiga tahun terakhir, organisasi ekstra itulah yang "berperang". Jika tahun pertama dalam periode yang penulis sudah sebutkan di awal tulisan ini, adalah pasangan calon (paslon) yang meraih suara terbesar, berasal dari atau dibekingi oleh HMI, di tahun berikutnya atau periode 2014-2015 diambil alih oleh PMII yang kemudian setahun berikutnya lagi berhasil direbut oleh HMI kembali. Meski pun dengan menggunakan banyak surat mandat!

Tahun ini, pemilma 2016-2017 sedang berlangsung. Menurut panitia LPP (Lembaga Penyelenggara Pemilma), di dalam juknisnya bahwa mandat ditiadakan. Oleh sebab itu, jalan untuk berbuat curang dari paslon akan tertutup. Meski pun demikian, tentu calon dan tim suksesnya tak pernah kehabisan akal. Mereka akan mencari cara untuk bisa mengambil hati si pemilik suara sah di pemilihan nanti, agar kelak dapat menjadi pemenang dalam ajang pemilihan ketua-ketua yang katanya terhormat itu.

Dari sini, penulis yang tak memiliki organisasi ekstra seperti HMI, PMII, IMM, KAMMI, HTI, WI atau yang lainnya hanya bisa menengadah ke langit. Sambil mendoakan para calon agar mereka tetap berkompetisi secara fair dalam bingkai keharmonisan. Penulis tidak men-judge dalam tulisan ini bahwa organisasi ektra itu buruk. Tidak sama sekali. Akan tetapi, terkadang oknum yang di dalamnya-lah yang menggunakan atribut organisasi ekstranya tersebut menjadi umpan untuk mendapatkan mangsa. Walaupun penulis yakin, bahwa organisasi ekstra sesungguhnya penting adanya. Sebagai pembentuk khazanah keilmuan, yang mengajarkan banyak hal.

Terakhir. Jika Anda para pembaca adalah salah satu calon dari pasangan yang akan maju di pemilihan, atau Anda adalah tim sukses dari salah satu paslon, maka penulis menyarankan, Anda sebaiknya menurunkan ego Anda ketika berjumpa atau menghadapi para penulis. Sebab bagaimana pun, segala tindak tanduk Anda akan terbaca secara rinci dan akan abadi dalam setiap coretannya. Jika kalian menginkan satu suara atau beberapa suara yang penulis pegang sekarang ini, maka tolong (dengan menundukkan kepala) penulis hormat pada Anda yang melepaskan atribut organisasi ekstra Anda. Berjuanglah sendiri tanpa mau dipisahkan oleh atribut warna. Kalian para calon adalah entitas muda jurusan ini. Kalian yang maju dalam pemilihan ini jangan sembarang niat yang kalian pasang. Kalian mesti ingat, bahwa jabatan yang kelak kalian emban adalah suatu jabatan yang memiliki pertanggungjawaban yang besar sekali. Kalian akan memimpin satu jurusan. Menyamakan satu persepsi antara seluruh kelas yang ada, dan turut membantu jurusan dalam mengembangkan tugas-tugasnya. 

Anda tahu, Imam Abu Hanifah, dalam sejarahnya ketika Amirul Mukminin memintanya untuk menjadi hakim, apa yang dikatakan oleh Abu Hanifah? Imam Abu Hanifah harus rela dicambuk, dipukul bahkan dipenjara, karena saking tidak menginginkan jabatan hakim itu dilimpahkan padanya. Sebab beliau sadar, bahwa amanah menjadi pemimpin (hakim) besar sekali tanggungjawabnya. Berat sekali tugas yang mesti ditempuh.

Ya, benarlah karena Imam Abu Hanifah adalah orang yang jujur lagi cerdas. Punya ilmu tinggi. Dengan ketidak-mauan-nya ia menolak jabatan yang diberikan oleh Amirul Mukminin. Maka apalagi kepada kita, manusia biasa ini. Banyak sekali dosa yang dilakukan setiap hari. Belum lagi salat lima waktu yang jarang dikerjakan, terkadang kita menyakiti hati orang lain. Menyakiti hati teman, tetangga, bahkan mungkin saja hati orangtua, kita pernah sakiti. Dan kini mau menjadi pemimpin umat? Memimpin ratusan mahasiswa? Apakah kita benar-benar sudah siap, ketika sudah memimpin, tak mampu menahan azab yang akan diberikan kepada kita, karena kelalaian kita selama memegang jabatan? Apakah kita sudah siap orangtua kita ikut merasakan siksaan kelak ketika anaknya melakukan perbuatan yang dilarang? Padahal, tak satu pun orangtua yang mengajarkan kejelekan pada anaknya. Jika itu yang kita pegang, insya Allah, kita akan sadar betapa besarnya amanah yang akan dijalani nantinya ketika memimpin sebuah wilayah. Ketika punya kedudukan dan jabatan. Ketika keputusan berada di tangan. Maka, berhati-hatilah. Sekian saja.

MgP

Komentar (0)